Halaman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 05 Juli 2013

Hargai Karya Ku


Tarman adalah seorang guru menggambar di Sekolah Dasar Keyongan, saat itu ia tampak marah-marah. Ia mengajak anak-anak pergi ke pantai berharap agar mereka dapat lebih berimajiner untuk melukis tetapi hasilnya tetap saja gambar-gambar yang mereka hasilkan hanyalah sawah, gunung dan matahari.
Selama 15 tahun dia mengajar, menghadapi hampir 15 angkatan murid, tapi baru kali ini ia mempunyai murid yang tidak bisa membuatnya bangga. Dia menjadi kesal, lalu mencampakkan gambar anak-anak itu ke tong sampah. Dan semua anak diberi angka lima.

“Wawawa kenapa gambar ku cuman di kasih nilai lima, pak guru curang padahal gambarku kan bagus aaaa aaa….” Teriak salah satu murid dengan mata berkaca-kaca. Pak tarman pun tak menghiraukan rengekan mereka. Semakin merasa tidak di pedulikan anak-anak semakin kecewa lantas mengadu kepada orang tuanya, kabar itupun menyebar hingga akhirnya Pak Tarman dipanggil oleh Ibu Kepala Sekolah.

“Saya dengar anak-anak semuanya pintar menggambar. Tapi kenapa bisa semuanya dapat angka lima Pak Tarman? Apa dasar penilaian pak Tarman? Apa Pak Tarman sedang mengikuti tren mode harga bensin sekarang? Naik, turun, naik, turun seenaknya?” pertanyaan Kepala Sekolah itupun semakin melilit dan kesal.

Inilah saat yang ia tunggu-tunggu, setelah mendengar lilitan Ibu Kepala Sekolah yang tajam itu.
“Sebenarnya begini Bu,” kata Tarman  menumpahkan perasaannya, “Sejak saya mulai mengajar di sini, gambar-gambar mereka saya kumpulkan. Ternyata tidak ada perkembangannya. Dari dulu sampai sekarang, sama saja. Bahkan sejak listrik belum masuk, ke desa kita ini, sampai sekarang sudah adanya mall dan sekolahpun sudah memakai komputer, yang digambar itu-itu saja tetap gambar sawah, gunung dan matahari. Tidak ada perkembangan. Saya kira kita harus mengambil tindakan sekarang bu!”

Ibu Kepala Sekolah yang sedang memikirkan bagaimana caranya mencari dana untuk membangun gedung baru, hanya menanggapinya dengan ketus,
“Sudahlah Pak Tarman, biar saja. Pelajaran menggambar di sekolah dasar ini kan tidak untuk mencetak pelukis. Hanya membuat mereka supaya tidak buta warna. Itu juga sudah bagus.”

“Tapi itu kan menunjukkan bahwa anak-anak itu tidak sadar kepada lingkungannya.” ujar Pak Tarman.
“Maksud Pak Tarman apa?” Tanya Kepala Sekolah itu dengan wajah penuh penasaran.
“Ya sekarang kan sudah zaman reformasi, Bu. Sudah banyak perubahan. Tidak ada larangan lagi untuk mengungkapkan apa saja asalkan ia benar. Di zaman sekarang harga bensin naik, banyak pejabat melakukan korupsi, ada juga isu pemanasan global warming. Kerusuhan di mana-mana, maka dari itu kita harus mengajarkan anak-anak agar tidak selalu terpuruk di zaman yang global ini”

“Maaf Pak Tarman, tetapi bukan saatnya untuk memikirkan itu, lagi pula mereka masih terlalu kecil. Masih banyak yang bisa kita pikirkan seperti halnya gedung sekolah kita yang hambruk karena angin topan beliung.”
“Nah itu dia, Bu. Mestinya kan itu bisa menjadi inspirasi untuk gambaran anak-anak.”
Ibu kepala sekolah hanya menganggu-anguk dan wajahnya terasa muram.

“Kalau begitu ajak mereka menggambar di luar kelas pak, supaya bisa melihat kenyataan.”
“Sudah Bu! Mereka sudah saya ajak ke pantai.”
“Terusss…?!”
“Ya seperti itu Bu yang digambar hanya sawah lagi, sawah lagi. Padahal mana ada sawah lagi di sini. Semua sudah jadi perumahan dan mall, benarkan bu?”
Ibu Kepala Sekolah hanya tercengang.
“O ya?”
“Ya!”
“Coba mana gambar-gambarnya?”
Pak Tarman terpaksa mengambil kembali gambar-gambar itu dari keranjang sampah dengan wajah kesal. Setelah dilihat satu per satu, Ibu Kepala Sekolah tercengang. Ia seperti lupa pada pembangunan gedung sekolahnya. Gambar anak-anak itu nampak memukaunya. Ia lalu menjejerkannya di lantai. Seluruh lantai kantor tertutup oleh gambar sawah, gunung dan matahari.

Guru-guru lain yang hendak masuk tertegun. Mereka berdiri di sepanjang pintu, memandangi lantai kantor yang menjadi hamparan sawah. Aneh sekali, semuanya seakan-akan teringat masa lalu. Saat kota mereka masih hijau dengan jajaran sawah di sepanjang jalan. Belum ada real estate, burung bangaupun waktu itu masih banyak. Dan matahari bersinar 12 jam karena tidak ada polusi.
“Ini kerinduan pada sawah-sawah kita yang sudah habis dijadikan perumahan dan mall,”kata Ibu Kepala Sekolah terharu.
“Mereka kebanyakan anak petani, jadi mungkin hati mereka masih tetap hati petani. Kalau mereka menggambar begini, saya kira mereka sudah mengekspresikan perasaan pada diri mereka dengan jujur, betul tidak Pak Tarman?”

Pak Tarman tersenyum sinis --“.
“Maaf, Bu. Itu mungkin hanya perasaan Ibu. Mereka itu kan generasi baru yang tidak tahu bahwa dulu di sini banyak sawah.” Ujar pak tarman dengan penuh pembelaan seakan tak ingin kalah.

“iyaa memang betul pak, tapi orang tua mereka pasti setiap malam bercerita tentang masa lalu. Saya kira ini baik sekali. Dan saya yakin ini pancaran dari nasionalisme, cinta kepada tanah air yang harus selalu kita pupuk. Dan sebagai guru kita wajib mengerti.”

Pak Tarman ingin membantah, tetapi tak ada satu gurupun yang mendukungnya.
“Saya kira angka lima tidak pantas di berikan untuk gambar-gambar sebagus ini. Pak Tarman saya dapat ide bagus. Saya minta gambar-gambar ini semuanya dipajang, dipamerkan di dinding sekolah, pasti pejabat dari Diknas Pusat yang akan menjadi tamu kita minggu depan akan tergerakjika melihatnya. Siapa tahu beliau akan menyumbang untuk pembangunan sekolah kita.
Karena anak-anak menampilkan kebangkitan nasionalisme yang sangat kita perlukan saat ini setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional maka kita harus memupuknya agar nasionalisme itu tidak luntur.”

“Tapi Bu, saya sendiri sudah meyiapkan lukisan-lukisan yang akan saya pamerkan untuk menyambut tamu-tamu itu.”
“bukannya saya melarang pak, tapi sebaiknya lukisan Pak Tarman disimpan dulu untuk kesempatan yang akan datang. Lebih baik yang dipajang untuk menyambut pejabat dari Diknas Pusat adalah lukisan dari anak-anak. Saya yakin mereka akan tergerak dan akan memberikan kita sumbangan untuk pembangunan gedung yang sangat kita perlukan saat ini!”

“Maaf. Bu tapi,..”
“Jangan membantah. Kerjakan sekarang juga apa yang saya minta. Tolong Bapak dan Ibu  Guru yang lain diatur semuanya supaya bisa dipajang sekarang juga!”.
Tanpa bertanya guru-guru lainpun langsung bertindak. Pak Tarman yang masih kesalpun juga terpaksa ikut menata lukisan meski dengan wajah bersunggut-sunggut. Kesempatan yang sudah ditunggu-tunggunya, untuk memamerkan lukisan-lukisannya tentang pembangunan kota, kini kandas. Dengan berat hati ia memajang lukisan-lukisan sawah, gunung dan matahari yang sama sekali tidak punya selera seni dan artistik itu.
Sehari sebelum tamu datang, semua lukisan itu sudah berderet rapi di dinding koridor sekolah. Sampai waktu malam haripun, semua guru kembali dipanggil untuk kembali ke sekolah. Rupanya Ibu kepala Sekolah punya ide baru.
“Saya begitu terperanjat ketika melihat lukisan-lukisan anak-anak kita itu berjejer di lantai. Hati saya langsung terketuk, teringat kepada masa lalu. Bagaimana pembangunan yang tidak terencana sudah merusakkan alam, sehingga anak-anak menjadi rindu ke masa lalu. Jadi saya ingin memberikan kesan yang sama pada para pejabat kita. Saya minta malam ini juga, lukisan itu dicopot dari dinding dan dijajarkan di lantai koridor, sehingga dia menjadi sawah-sawah kita di masa lalu” kata Ibu Kepala Sekolah dengan menggebu-gebu.

Semua guru tercengang. Tetapi mereka nampak menyukai ide tersebut. Dengan bergairah kemudian gambar sawah, gunung dan matahari itu dipasang di lantai berjajar sepanjang koridor. Dan lagi-lagi Pak Tarman harus ikut serta dalam penataannya.

Ketika tamu dari Diknas Pusat datang, muka Pak Tarman kelihatan muram. Berbeda dengan Ibu kepala Sekolah yang terlihat sangat bersemangat, dia mempersilakan tamu-tamunya masuk ke dalam gedung sekolah, sementara ia murid-,murid serta guru lain menunggu di luar.
Setengah jam kemudian para tamupun keluar. Mereka terlihat mengangguk senang penuh kepuasan. Pimpinannya memberikan pujian dengan semangat.
“Ternyata siswa-siswa sekolah ini mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, terbukti meskipun mereka di kelilingi dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi bukannya sawah-sawah yang hijau tetapi dalam benak mereka masih menginginginkan lingkungan yang alami.”

Semua bertepuk tangan gembira. Hanya Pak Tarman saja yang menundukkan muka kesal.
“jadi menurut hemat kami agar semakin berkembangnya imajinasi anak-anak ini kami akan memberikan bantuan pembangunan gedung baru karena dengan gedung saat ini sangat tidak mendukung, yang mana atapnya bocor, dan tembok-temboknya juga sudah rapuh.padahal mereka ini adalah penerus generasi bangsa, jika mereka saja tidak berkembamg maka bangsa ini juga tidak akan berkembang.”

Pak Tarman yang mulanya bermuka kesal kini mengembangkan senyumannya. Bersyukur berkat gambar anak-anak yang semula ia anggap tidak mempunyai jiwa seni ternyata dapat menyentuh hati Kepala Diknas Pusat yang di kenal sulit mengucurkan dana bantuan pembangunan. Begitu pula Ibu Kepala Sekolah akhirnya dapat mengembangkan senyumnya karena akhirnya perjuangan yang selama ini ia usahakan akhirnya membuahkan hasil.
“Pembangunan ini akan di mulai satu bulan ke-depan, rencana kami akan membangunkan gedung dua tingkat dengan kelengkapan fasilitas untuk belajar seperti halnya lab computer, lab bahasa, dan berbagai fasilitas yang di butuhkan, jika nanti gedungnya sudah bagus tentunya prestasi murid harus di tingkatkan” jelas Kepala Diknas.
“Terima kasih kepada bapak Kepala Dinas atas bantuan pembangunan yang di berikan, menyinggung prestasi tentunya kami selalu berusaha meningkatkannya”, kata Ibu Kepala Sekolah
Enam bulan kemudian gedung yang di nanti-nanti akhirnya selesai juga. Kini para guru bisa lebih focus dalam mengajar, dan sekarang Pak Tarman sudah bisa menerima hasil karya murid-muridnya dan berjanji akan lebih menghargai karya seni anak didiknya. Demikian pula dengan para siswa, kini mereka bisa lebih konsentrasi dalam belajar terbukti dengan nilai-nil;ai mereka yang meningkat. Kini semua bisa tersenyum, dan Ibu Kepala Sekolah pun bisa menutup masa tugasnya dengan sebuah keberhasilan (pensiun maksutnya…)

Sinopsis:
Pak Tarman yang sudah frustasi dengan karya gambar anak didiknya semakin frustasi ketika di panggil oleh Ibu Kepala Sekolah, Ibu Kepala Sekolah kecewa kepada Pak Tarman karena bukannya dia membantu mencari dana pembangunan tetapi malah menambah masalah dengan kelakuannya terhadap karya gambar anak didiknya. Namun ternyata gambar-gambar tersebut malah bisa mengetuk hati Kepala Dinas Pusat untuk memberikan bantuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar