Tarman adalah seorang guru
menggambar di Sekolah Dasar Keyongan, saat itu ia tampak marah-marah. Ia
mengajak anak-anak pergi ke pantai berharap agar mereka dapat lebih berimajiner
untuk melukis tetapi hasilnya tetap saja gambar-gambar yang mereka hasilkan
hanyalah sawah, gunung dan matahari.
Selama 15 tahun dia mengajar,
menghadapi hampir 15 angkatan murid, tapi baru kali ini ia mempunyai murid yang
tidak bisa membuatnya bangga. Dia menjadi kesal, lalu mencampakkan gambar
anak-anak itu ke tong sampah. Dan semua anak diberi angka lima.
“Wawawa kenapa gambar ku cuman di
kasih nilai lima, pak guru curang padahal gambarku kan bagus aaaa aaa….” Teriak
salah satu murid dengan mata berkaca-kaca. Pak tarman pun tak menghiraukan
rengekan mereka. Semakin merasa tidak di pedulikan anak-anak semakin kecewa
lantas mengadu kepada orang tuanya, kabar itupun menyebar hingga akhirnya Pak Tarman
dipanggil oleh Ibu Kepala Sekolah.
“Saya dengar anak-anak semuanya pintar menggambar. Tapi kenapa bisa semuanya dapat angka lima Pak Tarman? Apa dasar penilaian pak Tarman? Apa Pak Tarman sedang mengikuti tren mode harga bensin sekarang? Naik, turun, naik, turun seenaknya?” pertanyaan Kepala Sekolah itupun semakin melilit dan kesal.
Inilah saat yang ia tunggu-tunggu, setelah mendengar lilitan Ibu Kepala Sekolah yang tajam itu.
“Sebenarnya begini Bu,” kata Tarman menumpahkan perasaannya, “Sejak saya mulai mengajar di sini, gambar-gambar mereka saya kumpulkan. Ternyata tidak ada perkembangannya. Dari dulu sampai sekarang, sama saja. Bahkan sejak listrik belum masuk, ke desa kita ini, sampai sekarang sudah adanya mall dan sekolahpun sudah memakai komputer, yang digambar itu-itu saja tetap gambar sawah, gunung dan matahari. Tidak ada perkembangan. Saya kira kita harus mengambil tindakan sekarang bu!”
Ibu Kepala Sekolah yang sedang memikirkan bagaimana caranya mencari dana untuk membangun gedung baru, hanya menanggapinya dengan ketus,
“Sudahlah Pak Tarman, biar saja. Pelajaran menggambar di sekolah dasar ini kan tidak untuk mencetak pelukis. Hanya membuat mereka supaya tidak buta warna. Itu juga sudah bagus.”
“Tapi itu kan menunjukkan bahwa anak-anak itu tidak sadar kepada lingkungannya.” ujar Pak Tarman.
“Maksud Pak Tarman apa?” Tanya Kepala Sekolah itu dengan wajah penuh penasaran.
“Ya sekarang kan sudah zaman reformasi, Bu. Sudah banyak perubahan. Tidak ada larangan lagi untuk mengungkapkan apa saja asalkan ia benar. Di zaman sekarang harga bensin naik, banyak pejabat melakukan korupsi, ada juga isu pemanasan global warming. Kerusuhan di mana-mana, maka dari itu kita harus mengajarkan anak-anak agar tidak selalu terpuruk di zaman yang global ini”
“Maaf Pak Tarman, tetapi bukan
saatnya untuk memikirkan itu, lagi pula mereka masih terlalu kecil. Masih
banyak yang bisa kita pikirkan seperti halnya gedung sekolah kita yang hambruk
karena angin topan beliung.”
“Nah itu dia, Bu. Mestinya kan itu bisa menjadi inspirasi untuk gambaran anak-anak.”
Ibu kepala sekolah hanya menganggu-anguk dan wajahnya terasa muram.
“Nah itu dia, Bu. Mestinya kan itu bisa menjadi inspirasi untuk gambaran anak-anak.”
Ibu kepala sekolah hanya menganggu-anguk dan wajahnya terasa muram.
“Kalau begitu ajak mereka menggambar
di luar kelas pak, supaya bisa melihat kenyataan.”
“Sudah Bu! Mereka sudah saya ajak ke pantai.”
“Terusss…?!”
“Ya seperti itu Bu yang digambar hanya sawah lagi, sawah lagi. Padahal mana ada sawah lagi di sini. Semua sudah jadi perumahan dan mall, benarkan bu?”
Ibu Kepala Sekolah hanya tercengang.
“O ya?”
“Ya!”
“Coba mana gambar-gambarnya?”
“Sudah Bu! Mereka sudah saya ajak ke pantai.”
“Terusss…?!”
“Ya seperti itu Bu yang digambar hanya sawah lagi, sawah lagi. Padahal mana ada sawah lagi di sini. Semua sudah jadi perumahan dan mall, benarkan bu?”
Ibu Kepala Sekolah hanya tercengang.
“O ya?”
“Ya!”
“Coba mana gambar-gambarnya?”
Pak Tarman terpaksa mengambil
kembali gambar-gambar itu dari keranjang sampah dengan wajah kesal. Setelah
dilihat satu per satu, Ibu Kepala Sekolah tercengang. Ia seperti lupa pada
pembangunan gedung sekolahnya. Gambar anak-anak itu nampak memukaunya. Ia lalu
menjejerkannya di lantai. Seluruh lantai kantor tertutup oleh gambar sawah,
gunung dan matahari.
Guru-guru lain yang hendak masuk tertegun. Mereka berdiri di sepanjang pintu, memandangi lantai kantor yang menjadi hamparan sawah. Aneh sekali, semuanya seakan-akan teringat masa lalu. Saat kota mereka masih hijau dengan jajaran sawah di sepanjang jalan. Belum ada real estate, burung bangaupun waktu itu masih banyak. Dan matahari bersinar 12 jam karena tidak ada polusi.
“Ini kerinduan pada sawah-sawah kita
yang sudah habis dijadikan perumahan dan mall,”kata Ibu Kepala Sekolah terharu.
“Mereka kebanyakan anak petani, jadi
mungkin hati mereka masih tetap hati petani. Kalau mereka menggambar begini,
saya kira mereka sudah mengekspresikan perasaan pada diri mereka dengan jujur,
betul tidak Pak Tarman?”
Pak Tarman tersenyum sinis --“.
“Maaf, Bu. Itu mungkin hanya
perasaan Ibu. Mereka itu kan generasi baru yang tidak tahu bahwa dulu di sini
banyak sawah.” Ujar pak tarman dengan penuh pembelaan seakan tak ingin kalah.
“iyaa memang betul pak, tapi orang
tua mereka pasti setiap malam bercerita tentang masa lalu. Saya kira ini baik
sekali. Dan saya yakin ini pancaran dari nasionalisme, cinta kepada tanah air
yang harus selalu kita pupuk. Dan sebagai guru kita wajib mengerti.”
Pak Tarman ingin membantah, tetapi
tak ada satu gurupun yang mendukungnya.
“Saya kira angka lima tidak pantas di berikan untuk gambar-gambar sebagus ini. Pak Tarman saya dapat ide bagus. Saya minta gambar-gambar ini semuanya dipajang, dipamerkan di dinding sekolah, pasti pejabat dari Diknas Pusat yang akan menjadi tamu kita minggu depan akan tergerakjika melihatnya. Siapa tahu beliau akan menyumbang untuk pembangunan sekolah kita.
“Saya kira angka lima tidak pantas di berikan untuk gambar-gambar sebagus ini. Pak Tarman saya dapat ide bagus. Saya minta gambar-gambar ini semuanya dipajang, dipamerkan di dinding sekolah, pasti pejabat dari Diknas Pusat yang akan menjadi tamu kita minggu depan akan tergerakjika melihatnya. Siapa tahu beliau akan menyumbang untuk pembangunan sekolah kita.
Karena anak-anak menampilkan
kebangkitan nasionalisme yang sangat kita perlukan saat ini setelah 100 tahun
Kebangkitan Nasional maka kita harus memupuknya agar nasionalisme itu tidak
luntur.”
“Tapi Bu, saya sendiri sudah meyiapkan lukisan-lukisan yang akan saya pamerkan untuk menyambut tamu-tamu itu.”
“bukannya saya melarang pak, tapi sebaiknya lukisan Pak Tarman disimpan dulu untuk kesempatan yang akan datang. Lebih baik yang dipajang untuk menyambut pejabat dari Diknas Pusat adalah lukisan dari anak-anak. Saya yakin mereka akan tergerak dan akan memberikan kita sumbangan untuk pembangunan gedung yang sangat kita perlukan saat ini!”
“Maaf. Bu tapi,..”
“Jangan membantah. Kerjakan sekarang juga apa yang saya minta. Tolong Bapak dan Ibu Guru yang lain diatur semuanya supaya bisa dipajang sekarang juga!”.
“Jangan membantah. Kerjakan sekarang juga apa yang saya minta. Tolong Bapak dan Ibu Guru yang lain diatur semuanya supaya bisa dipajang sekarang juga!”.
Tanpa bertanya guru-guru lainpun
langsung bertindak. Pak Tarman yang masih kesalpun juga terpaksa ikut menata
lukisan meski dengan wajah bersunggut-sunggut. Kesempatan yang sudah
ditunggu-tunggunya, untuk memamerkan lukisan-lukisannya tentang pembangunan
kota, kini kandas. Dengan berat hati ia memajang lukisan-lukisan sawah, gunung
dan matahari yang sama sekali tidak punya selera seni dan artistik itu.
Sehari sebelum tamu datang, semua lukisan itu sudah berderet rapi di dinding koridor sekolah. Sampai waktu malam haripun, semua guru kembali dipanggil untuk kembali ke sekolah. Rupanya Ibu kepala Sekolah punya ide baru.
Sehari sebelum tamu datang, semua lukisan itu sudah berderet rapi di dinding koridor sekolah. Sampai waktu malam haripun, semua guru kembali dipanggil untuk kembali ke sekolah. Rupanya Ibu kepala Sekolah punya ide baru.
“Saya begitu terperanjat ketika
melihat lukisan-lukisan anak-anak kita itu berjejer di lantai. Hati saya
langsung terketuk, teringat kepada masa lalu. Bagaimana pembangunan yang tidak
terencana sudah merusakkan alam, sehingga anak-anak menjadi rindu ke masa lalu.
Jadi saya ingin memberikan kesan yang sama pada para pejabat kita. Saya minta
malam ini juga, lukisan itu dicopot dari dinding dan dijajarkan di lantai
koridor, sehingga dia menjadi sawah-sawah kita di masa lalu” kata Ibu Kepala
Sekolah dengan menggebu-gebu.
Semua guru tercengang. Tetapi mereka nampak menyukai ide tersebut. Dengan bergairah kemudian gambar sawah, gunung dan matahari itu dipasang di lantai berjajar sepanjang koridor. Dan lagi-lagi Pak Tarman harus ikut serta dalam penataannya.
Ketika tamu dari Diknas Pusat
datang, muka Pak Tarman kelihatan muram. Berbeda dengan Ibu kepala Sekolah yang
terlihat sangat bersemangat, dia mempersilakan tamu-tamunya masuk ke dalam
gedung sekolah, sementara ia murid-,murid serta guru lain menunggu di luar.
Setengah jam kemudian para tamupun
keluar. Mereka terlihat mengangguk senang penuh kepuasan. Pimpinannya
memberikan pujian dengan semangat.
“Ternyata siswa-siswa sekolah ini
mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, terbukti meskipun mereka di kelilingi
dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi bukannya sawah-sawah yang hijau
tetapi dalam benak mereka masih menginginginkan lingkungan yang alami.”
Semua bertepuk tangan gembira. Hanya Pak Tarman saja yang menundukkan muka kesal.
“jadi menurut hemat kami agar
semakin berkembangnya imajinasi anak-anak ini kami akan memberikan bantuan
pembangunan gedung baru karena dengan gedung saat ini sangat tidak mendukung,
yang mana atapnya bocor, dan tembok-temboknya juga sudah rapuh.padahal mereka
ini adalah penerus generasi bangsa, jika mereka saja tidak berkembamg maka
bangsa ini juga tidak akan berkembang.”
Pak Tarman yang mulanya bermuka
kesal kini mengembangkan senyumannya. Bersyukur berkat gambar anak-anak yang
semula ia anggap tidak mempunyai jiwa seni ternyata dapat menyentuh hati Kepala
Diknas Pusat yang di kenal sulit mengucurkan dana bantuan pembangunan. Begitu
pula Ibu Kepala Sekolah akhirnya dapat mengembangkan senyumnya karena akhirnya
perjuangan yang selama ini ia usahakan akhirnya membuahkan hasil.
“Pembangunan ini akan di mulai satu
bulan ke-depan, rencana kami akan membangunkan gedung dua tingkat dengan
kelengkapan fasilitas untuk belajar seperti halnya lab computer, lab bahasa,
dan berbagai fasilitas yang di butuhkan, jika nanti gedungnya sudah bagus
tentunya prestasi murid harus di tingkatkan” jelas Kepala Diknas.
“Terima kasih kepada bapak Kepala
Dinas atas bantuan pembangunan yang di berikan, menyinggung prestasi tentunya
kami selalu berusaha meningkatkannya”, kata Ibu Kepala Sekolah
Enam bulan kemudian gedung yang di
nanti-nanti akhirnya selesai juga. Kini para guru bisa lebih focus dalam
mengajar, dan sekarang Pak Tarman sudah bisa menerima hasil karya
murid-muridnya dan berjanji akan lebih menghargai karya seni anak didiknya.
Demikian pula dengan para siswa, kini mereka bisa lebih konsentrasi dalam
belajar terbukti dengan nilai-nil;ai mereka yang meningkat. Kini semua bisa
tersenyum, dan Ibu Kepala Sekolah pun bisa menutup masa tugasnya dengan sebuah
keberhasilan (pensiun maksutnya…)
Sinopsis:
Pak Tarman yang sudah frustasi
dengan karya gambar anak didiknya semakin frustasi ketika di panggil oleh Ibu
Kepala Sekolah, Ibu Kepala Sekolah kecewa kepada Pak Tarman karena bukannya dia
membantu mencari dana pembangunan tetapi malah menambah masalah dengan
kelakuannya terhadap karya gambar anak didiknya. Namun ternyata gambar-gambar
tersebut malah bisa mengetuk hati Kepala Dinas Pusat untuk memberikan bantuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar